Mitigasi Konflik Manusia – Gajah
Alihfungsi hutan menjadi areal perkebunan, pertambangan, dan permukiman menyebabkan ruang gerak satwa liar menyempit. Kondisi ini sangat berdampak bagi satwa-satwa besar seperti gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), orangutan sumatera (Pongo abelii), dan tapir (Tapirus indicus). Semakin minimnya ruang gerak satwa liar menyebabkan tingkat perjumpaan dengan manusia menjadi tinggi dan tak jarang berujung konflik. Tanaman dan hewan ternak menjadi sasaran satwa liar karena hilangnya sumber pakan alami. Konflik manusia dan satwa liar menimbulkan kerugian di kedua belah pihak baik materi maupun korban jiwa.
Gajah sumatera yang membutuhkan sumber pakan hijau yang sangat banyak menjadikan kebun masyarakat menjadi sasaran. Konflik gajah dan manusia yang terus terjadi menyebabkan mamalia darat terbesar di bumi ini kini diperlakukan tak ubahnya seperti hama. Untuk melindungi kebunnya, sebagian warga bahkan memasang jerat, racun, bahkan kawat listrik arus bolak balik untuk mengusir gajah. Kematian gajah akibat konflik menjadi sangat tinggi. Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mencatat dalam rentang waktu 2012-2016 sebanyak 152 ekor gajah mati yang sebagian besar diakibatkan konflik perkebunan.
Untuk mengurangi resiko bencana (mitigasi) akibat konflik manusia – satwa liar perlu dilakukan penyusunan strategi yang menyeluruh dalam skala lanskap dengan peran serta multipihak secara aktif. Pembenahan tata ruang melalui kebijakan tingkat daerah, pembangunan koridor, pengayaan habitat, pembentukan tim mitigasi terpadu, sosialisasi, penggunaan teknologi, dan pemberdayaan masyarakat di daerah rawan konflik merupakan sejumlah kegiatan yang dapat dilakukan untuk menangani konflik manusia dan satwa liar.
Investigasi Kejahatan Satwa Liar
Perburuan dan perdagangan satwa liar saat ini menjadi ancaman sangat serius karena menurunkan jumlah populasi satwa liar secara drastis. Dengan semakin terbukanya habitat maka ruang jelajah satwa liar semakin sempit. Pemburu biasanya menggunakan senjata api baik rakitan maupun organik, perangkap jerat, dan racun. Permintaan pasar yang tinggi dan nilai ekonomisnya yang sangat tinggi menyebabkan perburuan satwa liar menjadi tinggi. Jaringan perdagangan satwa liar terjalin dengan sangat rapi. Dari kasus perdagangan satwa liar yang telah berhasil terungkap para pelaku berasal dari hampir seluruh lapisan kalangan masyarakat dan berbagai latar belakang pekerjaan. Mulai dari petani hingga oknum penegak hukum dan pegawai negeri sipil. Satwa tersebut diburu dengan berbagai tujuan seperti pajangan, perhiasan, obat, klenik/mistis, pipa rokok, gagang senjata tajam, dan lain-lain. Satwa liar yang masih bayi atau usia muda diperjualbelikan dalam kondisi hidup dan memiliki nilai jual yang juga tidak kalah tinggi. Daerah tujuan perdagangan mulai dari skala nasional hingga internasional.
Pengayaan Habitat
Perlindungan terhadap kelestarian satwa liar dimulai dengan melindungi habitat yang masih tersisa baik yang berada di area konservasi maupun yang di dalam area konservasi. Pengalokasian, pengayaan habitat penting dilakukan oleh para pihak yang menjalankan usahanya di khususnya habitat gajah sumatera. Alokasi area konservasi dan kawasan sempadan sungai menjadi kewajiban dasar pemegang ijin konsesi.
Bentuk dari pengayaan habitat dapat dilakukan dengan penanaman pakan alami di titik-titik tertentu di sepanjang areal satwa dilindungi khususnya gajah sumatera. Tanaman yang dipilih selain memang disukai gajah juga merupakan tanaman endemik dan memberi manfaat lingkungan, seperti pisang batu, bambu, maupun rumput gajah.